Buku ajar, modul ajar dan buku referensi adalah hal yang berbeda. Jika buku ajar dan modul ajar beserta diktat ditulis berdasarkan pengalaman maka buku referensi mempunyai ciri khas tersendiri. Buku referensi masuk kategori jalur penelitian sehingga berisi hasil-hasil penelitian yang dikemas dalam bentuk anatomi buku mulai dari judul hingga rincian ilmunya. Hal inilah yang menjadi dasar Pusat Pengembangan Akademik dan Layanan Disabilitas –LP3M Universitas Negeri Jakarta mengadakan seminar dan diskusi (semdis) bertemakan strategi penulisan buku ajar pada Rabu, 25 Juli 2018 lalu di Aula Bung Hatta Gd. Pascasarjana UNJ.
Semdis mengundang 3 (tiga) orang narasumber yaitu Ir. Syamsul Arifin, MT (Dosen ITS), Hilarius Wibi Hardani, ST, MM (Penerbit Erlangga), dan Krisanjaya, M.Hum (Dosen UNJ). “Acara ini dihadiri oleh penulis proposal buku ajar, beliau sudah menulis 85 judul. Yang menjadi perhatian di sini adalah produk akhir Bapak/ibu akan dicetak oleh UNJ press.” jelas Dr. Asep Supena, M.Psi saat membuka acara.
Pada umumnya buku yang ditulis dosen bisa melalui jalur akademik maupun penelitian. Menurut Ir. Syamsul Arifin, MT untuk jalur akademik selalu dimulai dari kurikulum, MK dan RPS. “Bahkan ada beberapa buku yang bisa diurus ISBN dan HAKI-nya,”kata Ir. Syamsul Arifin, MT.
“Isi buku jangan sampai bias, ide harus sampai begitu juga dengan gambar, harus sinkron berikut penjelasannya. Proses perbukuan jelas terkait dengan proses kognitif apapun bidang keilmuanya, “tambah Syamsul.
Di sisi lain, gerakan literasi bangsa masih sangat rendah. Banyaknya buku dengan banyaknya penulis tidak sebanding dengan banyaknya pembaca. Perlu dibuat sebuah asosiasi guru penulis menurut Krisanjaya, M.Hum melanjutkan materi. “Zaman sekarang untuk mengetahui tentang seseorang sangat mudah, masuk aja ke dunia maya,” kata Krisanjaya.
Dari segi penerbitan buku, Hilarius Wibi Hardani, ST, MM menyatakan bahwa Erlangga tidak hanya menerbitkan buku teks tetapi juga buku lainnya. Penerbitan buku kuliahan per tahun di Erlangga sekitar 600 judul aktif mencakup 40 buku/tahun dengan tebal buku 300 halaman.
“Yang menjadi catatan di sini adalah waktu pengerjaan satu buku terjemahan kira-kira satu tahunan sementara buku lokal hanya 6 bulanan, “jelas Hilarius. Di era digital saat ini, Erlangga juga sudah menerapkan QR code di setiap buku terbitanya.
(CN)
Leave a Reply